Sepagian tadi baca blognya salah satu artis twitter. Haru biru. Bikin air mata netes di setiap bagian yang melibatkan orangtua.
Kisah hidupnya yang sederhana, tapi istimewa. Unik. Tidak tentang kebahagiaan, tapi menurutku, sebagai perempuan hidupnya lengkap sudah. Manusia memang tidak punya hidup yang sama, tapi keinginan bisa jadi sama. Yang membedakan hanya waktu pencapaiannya.
Tentang teman lama yang tidak tersadari berubah menjadi teman selamanya.
Tentang anak perempuan bungsu yang pindah rumah untuk hidup di
kehidupannya.
Tentang lelakinya yang menjadi pengganti ibu-ayahnya sebagai penjaga.
Tentang hal-hal sederhana namun cukup membuat hiruk-pikuk suasana hati.
Tentang ketidakpedulian pada rasa ketidakenakan untuk 'mengenal' orang yang sekarang
tidur di sampingnya setiap hari.
Tentang urusan-urusan rumit yang seketika menjadi sangat menyenangkan.
Tentang perasaan yang kacau.
Tentang dada yang bergetar hebat dipenuhi sesak kegugupan.
Tentang keyakinan melalui tiap detik kehidupan.
Tentang ketidakpercayaan untuk sebuah kenyataan.
Selama ini aku terlalu takut untuk hidup di masa depan. Tidak berani membayangkan apa jadinya aku ketika 'keluar' dari rumah. Tanpa mereka.
Tapi setelah ini aku mengerti. Bahwa kesemuanya itu adalah fase. Aku juga pasti akan melewatinya.
Hal sulit yang tidak ada kata tidak mau untuk dihadapi. Walaupun tau tidak semua hal akan baik-baik saja di depan sana. Toh tidak akan
menjadi alasan untuk aku tidak bahagia. Aku bermimpi sendiri. Tentang satu
masa. Tentang banyak fase. Tentang dia (yang entah siapa) akan melangkah bersama-sama dalam semua fase 'kami'.
Aku mau melewati semua ketakutan, keraguan, kerancuan, atau apa saja hal
buruk dalam tiap fase. Aku mau menjalani cerita-cerita tidak mengenakkan dan jatuh bangunnya di kerasnya hidup.
Bukankah hidup tidak melulu tentang kebahagiaan? Lagipula akan ada masa habis
untuk setiap fase. Hidup terlalu singkat untuk melewatkan satu fase pun. Hal
baik selalu beriringan dengan hal buruk. Air mata dan tawa juga akan datang
silih berganti. Mendung mengantarkan hujan, tapi juga meninggalkan pelangi. Aku tidak perlu lagi takut gelap. Banyak hal yang hanya bisa aku lihat di waktu gelap.
Mungkin aku tidak perlu lagi menakutkan akan seperti apa dan bagaimana baik-buruknya orang yang menjadi
teman hidup nanti. Tidak perlu memikirkan bisa tidaknya dia menjaga aku seperti mereka menjagaku. Tidak perlu lagi membayangkan bagaimana rasanya aku ketika tidak lagi ada di rumah ini.
Karna bagaimanapun aku pasti akan ada di fase itu.
Fase dimana nanti akan meninggalkan rumah dan berhenti mengekori mama dan
papa. Pergi dengan seseorang yang melepaskan ikatan anak dengan orangtuanya.
Menjadi sebenar-benarnya perempuannya. Perempuan dari laki-laki yang belum aku tau bagaimana nanti dia memperlakukan aku. Yang hanya bisa aku pegang janji ijabqabulnya, yang sepenuhnya diberikan kepercayaan dari orangtuaku untuk menyayangiku, anak bungsu mereka.
Lalu aku sadar bahwa sejak hari itu nanti, bukan punggung tangan mama lagi
yang aku kecup setiap hari, bukan sisa kecupan mama lagi yang menempel di pipi
dan kening. Sejak hari itu aku akan tau bahwa bukan tangan papa lagi yang
melindungi, bukan keringatnya lagi yang memberi makan. Dan bukan rumah ini lagi tempat aku menghabiskan sisa-sisa umur.
Aku menunggu (dengan perasaan tidak karuan) fase di mana aku akan merindukan keduanya setiap saat dengan,
membayangkan wajah sendu mereka, memikirkan mereka di setiap malam hingga
tertidur dan kemudian terbangun karna rasa tak aman. Dan yang bisa aku lakukan
hanya menggugah sosok orang di sampingku, memintanya memelukku untuk
setidaknya membuatku tenang dan memastikan semuanya akan baik-baik saja.
Aku pasti akan belajar untuk menjadi lebih kuat sejak hari itu.
Hidup memang terus berjalan dan berubah. Pilihannya cuma satu. Menghadapi tiap detiknya.
Berhenti menakutkan hal-hal di depan sana. Biarkan takdir menuntun tiap jengkal kaki.
Berhenti mencemaskan siapa dan bagaimana teman hidup yang nanti telah dipilih. Karna bukankah jika mama telah ridho artinya Allah juga ridho? Sehingga laki-laki terbaiklah yang akan hidup menemani dan memperlakukan dengan baik.
Berhenti memandang lemah diri sendiri. Karena manusia tidak akan mendapatkan beban berat melebihi kemampuannya mengangkat.
Dan suatu saat, siap atau tidak siap, genggaman tangan akan terlepas. Memisahkan aku dan mereka. Untuk sebuah fase baru..