November 16, 2013

who is my man? :p

Masih dengan keyakinan yang besar, bahwa akan ada seseorang yang dengan baik mau menerima aku di rumahnya sebagai ‘teman’ dengan semua kurang-kurangnya aku. Ada seseorang yang selalu bersedia menopang langkah beratku dan membasuh tangis di setiap kesakitan. Seseorang yang akan bilang ‘tidak’ untuk mauku yang keterlaluan. Seseorang untuk berbagi cerita, berdebat, berdiskusi hal-hal tidak penting, atau hanya sekedar menjadi orang yang pundaknya aku pinjam untuk sebentar saja memejamkan mata ketika terlalu letih.

Akan ada yang datang menawarkan penjagaan yang baik.
Tidak untuk hidup yang mapan, asal nyaman.
Tidak dengan materi yang berlimpah, cukup hilang saja resah.
Tidak dengan kemewahan, hanya kebahagiaan.

Hadirlah untuk menetap sepanjang masa. Aku terima buruk-burukmu sebagai kebaikanmu menerima buruk-burukku. Manusia mana yang sempurna perasaannya, yang baik keseluruhannya. Yang diinginkan adalah penerimaan dengan selapang-lapangnya menerima.

Siapapun laki-lakiku nanti, cukuplah baginya dengan menjadi pemimpinku yang tidak memberikan aku satu kesempatan pun untuk menjadi durhaka. Laki-laki yang menempatkan aku satu tingkat di bawahnya. Bukan untuk diinjak, tapi diatur agar baik dalam bersikap.
Hidupilah aku dengan sederhana, secukupnya hidup. Jangan manjakan aku dengan gemerlapnya kesenangan dunia. Pantaskanlah perlakuan, selayaknya sejati. Jangan biasakan aku menikmati kekasaran untuk setiap kemarahan.

Siapapun laki-lakiku nanti, cukuplah baginya dengan menjadi imam yang mau berusaha membaikkan dirinya dan membaikkanku. Bersama-sama menyempurnakan –yang katanya- sebagian ibadah, membimbing setiap waktu untuk mengingat yang Maha Menyatukan, mengajarkan aku untuk mencintai sang Maha Cinta dengan sekuat-kuatnya cinta. Lalu bersama-sama mengharap Ridho-Nya agar bisa bertemu dan berjodoh lagi di dunia kekal yang kelak..
Posted on by niken intan kurnia | 2 comments

November 15, 2013

pada sebuah masa ~

Sepagian tadi baca blognya salah satu artis twitter. Haru biru. Bikin air mata netes di setiap bagian yang melibatkan orangtua.
Kisah hidupnya yang sederhana, tapi istimewa. Unik. Tidak tentang kebahagiaan, tapi menurutku, sebagai perempuan hidupnya lengkap sudah. Manusia memang tidak punya hidup yang sama, tapi keinginan bisa jadi sama. Yang membedakan hanya waktu pencapaiannya.

Tentang teman lama yang tidak tersadari berubah menjadi teman selamanya.
Tentang anak perempuan bungsu yang pindah rumah untuk hidup di kehidupannya.
Tentang lelakinya yang menjadi pengganti ibu-ayahnya sebagai penjaga.
Tentang hal-hal sederhana namun cukup membuat hiruk-pikuk suasana hati.
Tentang ketidakpedulian pada rasa ketidakenakan untuk 'mengenal' orang yang sekarang tidur di sampingnya setiap hari.
Tentang urusan-urusan rumit yang seketika menjadi sangat menyenangkan.
Tentang perasaan yang kacau.
Tentang dada yang bergetar hebat dipenuhi sesak kegugupan.
Tentang keyakinan melalui tiap detik kehidupan.
Tentang ketidakpercayaan untuk sebuah kenyataan.

Selama ini aku terlalu takut untuk hidup di masa depan. Tidak berani membayangkan apa jadinya aku ketika 'keluar' dari rumah. Tanpa mereka.
Tapi setelah ini aku mengerti. Bahwa kesemuanya itu adalah fase. Aku juga pasti akan melewatinya. Hal sulit yang tidak ada kata tidak mau untuk dihadapi. Walaupun tau tidak semua hal akan baik-baik saja di depan sana. Toh tidak akan menjadi alasan untuk aku tidak bahagia. Aku bermimpi sendiri. Tentang satu masa. Tentang banyak fase. Tentang dia (yang entah siapa) akan melangkah bersama-sama dalam semua fase 'kami'.
Aku mau melewati semua ketakutan, keraguan, kerancuan, atau apa saja hal buruk dalam tiap fase. Aku mau menjalani cerita-cerita tidak mengenakkan dan jatuh bangunnya di kerasnya hidup.
Bukankah hidup tidak melulu tentang kebahagiaan? Lagipula akan ada masa habis untuk setiap fase. Hidup terlalu singkat untuk melewatkan satu fase pun. Hal baik selalu beriringan dengan hal buruk. Air mata dan tawa juga akan datang silih berganti. Mendung mengantarkan hujan, tapi juga meninggalkan pelangi. Aku tidak perlu lagi takut gelap. Banyak hal yang hanya bisa aku lihat di waktu gelap.
Mungkin aku tidak perlu lagi menakutkan akan seperti apa dan bagaimana baik-buruknya orang yang menjadi teman hidup nanti. Tidak perlu memikirkan bisa tidaknya dia menjaga aku seperti mereka menjagaku. Tidak perlu lagi membayangkan bagaimana rasanya aku ketika tidak lagi ada di rumah ini.

Karna bagaimanapun aku pasti akan ada di fase itu.
Fase dimana nanti akan meninggalkan rumah dan berhenti mengekori mama dan papa. Pergi dengan seseorang yang melepaskan ikatan anak dengan orangtuanya. Menjadi sebenar-benarnya perempuannya. Perempuan dari laki-laki yang belum aku tau bagaimana nanti dia memperlakukan aku. Yang hanya bisa aku pegang janji ijabqabulnya, yang sepenuhnya diberikan kepercayaan dari orangtuaku untuk menyayangiku, anak bungsu mereka.

Lalu aku sadar bahwa sejak hari itu nanti, bukan punggung tangan mama lagi yang aku kecup setiap hari, bukan sisa kecupan mama lagi yang menempel di pipi dan kening. Sejak hari itu aku akan tau bahwa bukan tangan papa lagi yang melindungi, bukan keringatnya lagi yang memberi makan. Dan bukan rumah ini lagi tempat aku menghabiskan sisa-sisa umur.

Aku menunggu (dengan perasaan tidak karuan) fase di mana aku akan merindukan keduanya setiap saat dengan, membayangkan wajah sendu mereka, memikirkan mereka di setiap malam hingga tertidur dan kemudian terbangun karna rasa tak aman. Dan yang bisa aku lakukan hanya menggugah sosok orang di sampingku, memintanya memelukku untuk setidaknya membuatku tenang dan memastikan semuanya akan baik-baik saja.
Aku pasti akan belajar untuk menjadi lebih kuat sejak hari itu.

Hidup memang terus berjalan dan berubah. Pilihannya cuma satu. Menghadapi tiap detiknya.
Berhenti menakutkan hal-hal di depan sana. Biarkan takdir menuntun tiap jengkal kaki.
Berhenti mencemaskan siapa dan bagaimana teman hidup yang nanti telah dipilih. Karna bukankah jika mama telah ridho artinya Allah juga ridho? Sehingga laki-laki terbaiklah yang akan hidup menemani dan memperlakukan dengan baik.
Berhenti memandang lemah diri sendiri. Karena manusia tidak akan mendapatkan beban berat melebihi kemampuannya mengangkat.


Dan suatu saat, siap atau tidak siap, genggaman tangan akan terlepas. Memisahkan aku dan mereka. Untuk sebuah fase baru..

Posted on by niken intan kurnia | 2 comments